Mengenal Lampung

Orang lampung yang dimaksud adalah orang yang berbahasa lampung dan beradat lampung. Daerah propinsi lampung adalah daerah transmigrasi yang dibuka sejak tahun 1905, sehingga yang terbanyak adalah orang jawa, disamping suku bangsa lainnya. Bisa dikatakan sudah tidak ada lagi daerah tertutup yang tidak didiami penduduk pendatang kecuali di beberapa tempat yang belum padat penduduknya, seperti di daerah eks Kewedanaan Krui di sebelah barat, berbatasan dengan Propinsi Bengkulu dan Sumatera Selatan.

Ciri-ciri khas masyarakat adat lampung sudah sedikit sekali yang masih tampak perkampungan penduduk dengan bengunan rumah kerabat yang bertiang tinggi dan berangsur-angsur turun ke bawah merata dengan tanah, balai-balai adat (sesat) kebanyakan sudah tidak dibangun lagi dan digantikan dengan balai desa. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa indonesia, hanya saja masih digunakan sebagai bahasa kerabat didalam rumah tangga orang lampung dan upacara adat.

Orang lampung pada umumnya beragama islam. Masyarakat adat lampung dapat dibedakan dalam dua golongan adat, yaitu yang beradat pepadun dan beradat pesisir, begitu pula dialek bahasanya ada yang berdialek "nyou" (apa) atau dialek bahasa Abung dan yang berdialek "api" (apa) atau berdialek Pemanggilan. mereka yang beradat pepadun kebanyakan bermukim didaerah pedalaman, sedangkan yang beradat pesisir bermukim didaerah pesisir atau di daerah yang tidak termasuk daerah lingkungan pepadun. Termasuk dalam lingkungan beradat pepadun adalah orang-orang Abung, Tulangbawang (Menggala), Waikanan Sungkai, Pubiyan. termasuk dalam lingkungan beradat pesisir adalah orang-orang Pesisir Teluk, Pesisir Semangka, Pesisir Krui, dan dataran tinggi Belalau di daerah Propinsi Lampung, dan orang-orang Ranau, Muaradua, Komering dan Kayuagung dalam daerah Prop. Sumatera Selatan dan juga dipedesaan Cikoneng (Anyer) pantai barat, Jawa Barat.

Masyarakat lampung merupakan masyarakat kekerabatan bertali darah menurut garis ayah (Geneologis-Patrilinial), yang terbagi-bagi dalam masyarakat keturunan menurut Poyang asalnya masing-masing yang disebut "buwai", misalnya Buwai Nunyai, Buwai Unyi, Buwai Nuban, Buwai Subing, Buwai Bolan, Buwai Menyarakat, Buwai Tambapupus, Buwai Tungak, Buwai Nyerupa, Buwai Belunguh, dsb. setiap ke-buwai-an itu terdiri dari berbagai "jurai" dari ke-buwai-an, yang terbagi-bagi pula dalam beberapa kerabat yang terikat pada satu kesatuan rumah asal (nuwou tubou, lamban tuha). Kemudian dari rumah asal itu terbagi lagi dalam beberapa rumah kerabat (nuwou balak, lamban gedung). adakalanya buwai-buwai itu bergabung dalam satu kesatuan yang disebut "paksi". setiap kerabat menurut tingkatannya masing-masing mempunyai pemimpin yang disebut "penyimbang" yang terdiri dari anak tertua laki-laki yang mewarisi kekuasaan ayah secara turun temurun.

Hubungan kekerabatan adat lampung terdiri dari lima unsur yang merupakan lima kelompok. pertama, adalah kelompok "wari" atau "adik wari", yang terdiri dari semua saudara laki-laki yang bertalian darah menurut garis ayah, termasuk saudara angkat yang bertali darah. kedua, adalah kelompok "lebuklama" yang terdiri dari saudara laki-laki dari nenek (ibu dari ayah) dan keturunannya dan saudara laki-laki dari ibu dan keturunannya. ketiga adalah kelompok "baimenulung" yang terdiri dari saudara-saudara wanita dari ayah dan keturunannya. keempat adalah kelompok "kenubi" yang terdiri dari saudara-saudara karena ibu bersaudara dan keturunannya. kelima adalah kelompok kelompok "lakau-maru", yaitu para ipar pria dan wanita serta kerabatnya dan para saudara karena istri bersaudar dan kerabatnya.

Bentuk perkawinan yang berlaku adalah partrilokal dengan pembayaran jujur (ngakuk mulei), dimana setelah kawin mempelai wanita mengikuti dan menetap dipihak kerabat suami, atau juga dalam bentuk marilokal (semanda) dimana setelah kawin suami ikut pada kerabat istri dan menetap di tempat istri.
Untuk mewujudkan jenjang perkawinan dapat ditempuh dalam dua cara, yaitu cara berlarian (sebambangan) yang dilakukan bujang-gadis sendiri dan cara pelamaran orang tua (cakak sai tuha) yang dilakukan oleh kerabat pihak pria kepada kerabat pihak wanita di rumah orang tua wanita.

Perkawinan yang ideal dikalangan orang lampung adalah pria kawin dengan wanita anak saudara wanita ayah (bibik, keminan) yang disebut "ngakuk menulung" atau dengan anak saudara wanita ibu (ngakuk kenubi)/ perkawinan yang tidak disukai adalah pria dan wnaita anak saudara laki-laki ibu (ngakuk kelana) atau dengan anak wanita saudara laki-lakinya (ngakuk bai/wari) atau juga dengan anak dari saudara pria nenek dari ayah (ngakuk lebu). Lebih-lebih tidak disukai kawin dengan suku lain (ulun lowah) atau orang asing. Apalagi berlainan agama (sumang agamou). Tetapi dimasa sekarang hal demikian itu sudah tidak dihiraukan angkatan muda, sehingga sudah banyak pria/wanita lampung yang melakukan kawin campur antar suku asal saja sama-sama beragama islam/ bersedia masuk islam dan bersedia diangkat menjadi anak angkat dan masuk warga adat lampung.

Jika dari suatu ikatan perkawinan tidak mendapatkan keturunan sama sekali, maka untuk menjadi penerus keturunan ayah, dapat diangkat anak tertua dari adik laki-laki atau anak kedua dari kakak laki-laki untuk menegakkan (tegak tegi) keturunan yang putus (maupus). Jika tidak ada anak-anak saudara yang bersedia diangkat dapat mengangkat orang lain yang bukan anggota kerabat, asal saja disahkan dihadapan kerabat dan prowitan adat. Tetapi jika hanya mempunyai anak wanita, maka anak itu dikawinkan dengan saudara misalnya yang laki-laki/ anak wanita itu dijadikan kedudukan laki-laki dan melakukan perkawinan semanda ambil suami (ngakuk ragah). Dengan begitu maka anak laki-laki dari perkawinan mereka kelak akan menggatikan kedudukan kakeknya sebagai waris mayorat sehingga keturunan keluarga tersebut tidak putus (mak mupus).

Tidak ada komentar

Harap tinggalkan komentar yang relevan ya teman-teman^^