Menjelang Fajar



Menjelang Fajar. Gambar tanpa teks via binatang.net



Tadi malam, belum sempat kupejamkan mata karena terbawa rasa penasaran dengan buku yang sedang kubaca - hingga aku bertekad untuk merampungkan buku tersebut. Suara ayam berkokok berkali-kali memberi peringatan bahwa malam tak lagi muda - menjelang subuh. Aku terus membaca, mengabaikan kokok ayam yang mulai bersahut-sahutan satu sama lain, ditambah suara-suara alam lainnya. Suara gesekan - yang entah apa itu juga tidak kuhiraukan. Sederhana saja, jika sampai aku menghiraukan suara-suara tersebut aku akan berpikir macam-macam, yang ujungnya membuatku tidak punya nyali untuk berbuat apapun selain memaksa mata terpejam dan menarik selimut hingga menutup kepala.

Aku masih asik membaca, ketika tiba-tiba suara ringtone HP salah satu penghuni rumah tua ini melengking keras seakan ada berita penting yang tak bisa lagi ditawar dan harus disampaikan saat itu juga. Aku mendesah, "menelpon tengah malam seperti ini, apakah tidak ada kerjaan lain?” Aku belum pernah terjaga hingga selarut ini, jadi aku tidak begitu yakin apakah orang-orang di sini memang punya kebiasaan telpon-telponan tengah malam.

Itu pasti pacarnya, sengaja menelpon tengah malam supaya biaya telpon bisa lebih murah", batinku agak sarkastik. Kuteruskan bacaanku, toh perbincangan mereka tidak terlalu mengganggu penghuni yang lain, dan perbincangan itu berlangsung tidak terlalu lama.

Tidak lama berselang, kembali suara ringtone penghuni yang lainnya juga ikut berdering, kali ini suaranya tidak semenggema yang pertama.

Cocok sekali dengan kepribadian si pemilik ponsel, seorang yang lemah lembut. Tak bermaksud menguping pembicaraan orang lain, aku kembali menenggelamkan diriku bersama buku yang tak mau melepaskan diri dariku sejak pertama kugenggam sore tadi.

Di tengah sepinya malam, kudengar suara lirih yang menyayat hati. Tangisan pilu itu terdengar begitu jelas bagiku yang masih awas dan jauh dari rasa kantuk. Aku mencoba mengabaikannya, tapi semakin lama tangisan itu semakin jelas dan semakin pilu. Aku mengernyitkan dahi, apakah sebenarnya yang terjadi. Kemudian suara yang kudengar membuatku benar-benar tertegun, wajah kurasa menjadi pias, nafas tersedak dan detak jantung berpacu tanpa irama. Kuletakkan buku - lalu mata dan pikiranku menerawang meninggalkanku jauh dibelakang.


***

Aku dibelanggu oleh rasa yang tak pernah mau berdamai. Penyesalan yang tiada terkira menghujamku bagai ribuan ton benda yang siap meniadakan. Aku yang tak pernah bisa berdamai pada sebuah ketiadaan yang takkan pernah kembali, mendengar isak pilu itu seperti berkaca pada diriku sendiri 4 tahun yang lalu. Saat tiba-tiba orang rumah mengabarkan bahwa Ayah telah tiada. Ayah yang sangat kucintai, meski kuakui keluarga kami bukanlah keluarga ideal yang membanggakan. Aku sadar begitu mencintai setelah dia tiada, aku sadar begitu membutuhkannya setelah tiada, dan betapa aku menyesal tidak bisa melihatnya untuk terakhir kalinya. Aku yang tidak punya keberanian menyingkap kain putih yang membalut seluruh tubuhnya, hanya karena alasan "Aku tidak sanggup menjadikan wajah kaku dan pucat di depanku sebagai kenangan terakhirku tentangnya".


***

Isakan lirih itu menyadarkanku akan situasi yang sedang terjadi. Mba Maria baru saja mendapat kabar duka dari rumahnya di Flores sana. Dan aku hanya bisa mendengarnya menangis.


Tidak ada komentar

Harap tinggalkan komentar yang relevan ya teman-teman^^