Jalanan Tempat Menempa Soft Skills

Anak itu berjalan menyusuri ruas jalan. Tubuhnya yang kumal menandakan betapa bersahabatnya dia dengan debu jalanan ibu kota yang tiada dua. Didekapnya berlembar koran lokal dan nasional. Isinya tak lagi membuatnya peka tuk membaca. Kecuali beberapa kolom saja yang menurutnya layak.

Jikalau ditanya kenapa dia enggan membacanya, jawabannya adalah tak semua koran sekarang berpegang pada kebenaran. Lebih bersifat materialistis yakni hanya menjual yang sekiranya layak dijual dan disukai banyak orang. Atau menjual jikalau berita itu adalah pesanan orang yang bersedia “mensubsidi”. Banyak orang heran atas argumen si anak tadi, dan mereka pun mencoba mengkaji dan bertanya pada hati. Benarkah seperti ini?


Anak itu mencoba berteduh saat lampu hijau menyala. Dia perhatikan betapa kini ibu kota berjuta warna. Merah, kuning, hijau, biru, putih, ungu dan warna-warna lain yang mungkin sedikit mengusik pandangan para pengendara. Dia sempat bertanya, kenapa begitu banyak bendera.


Memang sebenarnya dia sempat baca di surat kabar kalau tujuan pemilik bendera-bendera itu adalah untuk memakmurkan negeri ini. Mengangkat derajat rakyatnya agar lebih memiliki kehidupan yang layak. Memang dia sempat melihat ada pemilik bendera itu yang sungguh-sungguh. Datang di kala bencana dan berbagi di rumah kumuh. Tapi jika benar para pemilik bendera-bendera itu memiliki tujuan luhur kenapa hanya datang kambuhan.


Dia mencoba menerka usia, sudah berapa lamakah dia hidup di dunia.Ah mungkin usiaku baru 13 tahun, taksirnya. Ini disimpulkan berdasarkan kelas berapa dia sekarang di sekolah. Dan dia kelas VI SD, ini tandanya usianya sekitar 13 tahun. Padahal jikalau ibunya ada saat ini mungkin dia akan diberitahu kalau usianya sudah 15 tahun. Tapi dia hanyalah sebatang kara. Kemanakah orang tuanya? Yang jelas dia sempat diberitahu oleh seseorang yang merawat dirinya kalau dia adalah anak sepasang pecinta tanpa ikatan perkawinan yang sah. Dan konon kabarnya sang ayah adalah seorang yang cukup “hebat” sementara ibunya adalah gadis muda yang teramat cantik yang kini memutuskan tuk jadi TKW ke Hongkong. Ibu, benarkah ibu bekerja selayaknya di sana? Si anak itu pun menengadah, karena hanya Tuhan saja yang selama ini menguatkannya.


Cerita diatas bukanlah fiktif, kita bisa menemui anak-anak jalanan diruas-ruas jalan setiap kota.


Dari sepenggal narasi diatas kita dapat mengambil pelajaran, manusia dilahirkan tidak dengan keberuntungan yang sama.Tidak seorang pun yang menginginkan terlahir sebagai orang yang "besar dijalanan".


Ada banyak alasan mengapa kemudian seorang anak  besar dijalanan. Alasan-alasan yang mungkin tidak terlalu membuat kita tercengang, yaitu Anak diluar nikah, keluarga Broken Home dan alasan  lainnya adalah kemiskinan. Siapa yang memilih untuk terlahir dari keluarga-keluarga yang seperti ini..?? Pastinya tidak ada.

Tapi coba sekali-sekali kita posisikan diri kita sebagai mereka; kelaparan, dibuang, tidak diakui, kedinginan, tidur berbantalkan tangan-tangan ringkihnya, dan makian serta celaan sudah menjadi teman sehari-harinya.


Ini bisa mengasah kepekaan soft skil kita. Bagaimana kita merasa tersentuh dengan keadaan mereka, mau berbagi dan mengesampingkan Ego yang kadang menguasai alam pikiran atas "Kriminalitas" yang ditimbulkannya.


Satu hal yang selama ini saya pegang bahwa " Se-kriminal apapun seseorang, pasti masih ada sisi positifnya yang dengan itu dia bisa diarahkan menjadi lebih baik".



Tidak ada komentar

Harap tinggalkan komentar yang relevan ya teman-teman^^